Selasa, 30 Agustus 2011

Irfan dan Burung Pelatuk

Hari Minggu, Irfan berjalan-jalan di sebuah hutan dengan Ayahnya. Ketika tengah berjalan, ia memikirkan betapa indahnya pepohonan dan seluruh alam semesta. Ayahnya kemudian bertemu dengan seorang teman, dan ketika dua orang dewasa itu bercakap-cakap, Irfan mendengar sebuah suara:
Tuk, tuk, tuk, tuk, tuk, tuk ... Suara itu datang dari sebuah pohon. Irfan mendatangi burung yang membuat suara itu, dan bertanya:
“Mengapa engkau memukuli pohon dengan paruhmu seperti itu?”
Burung itu menghentikan pekerjaannya, dan berbalik memandang Irfan. “Aku seekor pelatuk,” jawabnya. “Kami membuat lubang di pepohonan, dan membangun sarang-sarang kami di dalamnya. Kadang-kadang kami menyimpan makanan di dalam lubang-lubang pohon ini. Lubang ini adalah lubang pertama buatanku. Aku akan membuat ratusan lubang persis seperti ini.” Irfan memperhatikan lubang itu. “Bagus. Tapi, bagaimana engkau menyimpan makanan di tempat sekecil ini?” Ia berpikir.
“Sebagian besar burung pelatuk memakan biji ek. Biji-biji ini cukup kecil,” si pelatuk menjelaskan. “Di dalam setiap lubang, aku akan meletakkan sebiji ek. Dengan cara itu, aku dapat menyimpan cukup makanan untuk diriku sendiri.”
Irfan bingung. “Tapi, daripada capek-capek membuat puluhan lubang kecil seperti ini,” katanya, “kamu bisa membuat sebuah lubang besar dan menyimpan semua makananmu di sana.”
Burung pelatuk itu tersenyum. “Kalau itu kulakukan, burung-burung lain akan datang dan menemukan tempat persediaan makananku. Mereka akan mencuri biji ek. Lubang yang kubuat berbeda-beda ukurannya. Ketika kuletakkan biji ek yang kutemukan ke dalam lubang, kusimpan sesuai dengan ukurannya. Ukuran biji ek persis sebesar lubang buatanku. Dengan cara itu, biji ek dapat menempati lubang dengan pas, dan rapat! Allah menciptakan paruhku sedemikian rupa sehinga aku dapat mengeluarkan biji ek dengan mudah dari dalam lubang. Karena itu, aku dapat mengambil dari pohon tanpa kesulitan apapun. Burung-burung lain tak dapat melakukan itu, karenanya, makananku aman. Tentu saja, aku tak punya otak untuk memikirkan semua itu. Aku ini cuma seekor pelatuk. Allah membuatku melakukan semua ini. Allahlah yang mengajariku bagaimana menyembunyikan makananku. Allah yang menciptakan paruhku dengan cara yang tepat untukku. Sesungguhnya, ini bukan hanya terjadi padaku—semua makhluk hidup mampu melakukan hal-hal yang mereka lakukan karena itulah cara yang diajarkan Allah pada mereka.”
Irfan setuju: “Engkau benar. Terimakasih telah memberitahu aku semua itu ... Kamu mengingatkan aku pada kuasa Allah yang luarbiasa.”
Irfan mengucapkan selamat jalan pada teman kecilnya, dan kembali pada Ayahnya. Ia sangat gembira karena ke manapun ia memandang, ia selalu melihat keajaiban Allah lainnya.
Jalal dan Burung Camar
Ketika bepergian dengan kapal feri, dalam cuaca yang panas-terik, Jalal paling suka duduk di dek kapal. Dengan cara itu, ia bisa memandang laut lebih dekat, dan dapat memperhatikan sekelilingnya lebih mudah. Satu hari, Jalal naik kapal feri bersama Ibunya. Ia segera mendatangi dek dan duduk di sana. Sekelompok camar mengikuti feri seakan mereka tengah berlomba satu sama lain. Camar-camar itu melakukan pertunjukan yang menarik, berpilin dan berputar di udara, saling berebutan remah-remah roti yang dilemparkan oleh para penumpang feri pada mereka. Salah satu camar meluncur pelan dan mendarat di tempat duduk sebelah Jalal.
“Suka nggak dengan pertunjukan terbang kami?” tanyanya. “Kulihat, kamu memperhatikan kami begitu cermat. Siapa namamu?”
“Namaku Jalal. Ya, aku sangat suka melihatmu terbang. Kulihat, kamu bisa tetap berada di udara tanpa perlu mengepakkan sayap sama sekali. Bagaimana kamu melakukan itu?”
Camar tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kami, burung camar, menempatkan diri kami sesuai dengan arah angin. Bahkan jika cuma ada sedikit angin, arus udara yang naik akan mengangkat kami. Kami memanfaatkan gerakan ini, dan kami dapat melakukan perjalanan jauh tanpa perlu mengepakkan sayap sama sekali.”
“Kami bergerak maju-mundur dalam kumpulan udara yang naik dari (permukaan) laut,” burung camar melanjutkan penjelasannya. “Arus ini memastikan bahwa kami memiliki udara di bawah sayap, dan hal itu memungkinkan kami untuk tetap di udara tanpa menggunakan terlalu banyak energi.”
Jalal masih tidak yakin apakah dia betul-betul memahami. “Aku melihatmu di sana, di udara, tanpa menggerakkan sayap, seakan-akan kamu tertahan di situ. Dan kamu melakukan semua ini dengan bertindak sesuai dengan arah angin? Aku bisa lihat itu. Namun, bagaimana kamu memperhitungkan kekuatan dan dari arah mana angin itu datang?”
“Dari pengetahuan kami sendiri, tidak mungkin kami bisa melakukan itu,” camar memulai penjelasannya. “Ketika menciptakan kami, Allah mengajari kami bagaimana caranya terbang, dan bagaimana melayang di udara tanpa buang-buang energi. Contoh-contoh ini diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyadari keberadaan Allah dan memahami kekuatanNya.”
Jalal memikirkan pertanyaan lain. “Ya, kamu tetap tertahan di udara, seolah-olah diikat oleh seutas tali ... Agar mampu melakukan ini, kamu perlu mengetahui matematika dengan baik, dan bisa melakukan perhitungan yang rumit. Namun, kamu telah melakukannya tanpa masalah sejak awal kamu terbang, begitu kan?”
“Benar sekali,” camar itu menyetujui. “Tuhan kita memberikan ilham bagi setiap makhluk hidup. Kami semua melakukan apa yang diperintahkan pada kami. Jangan pernah lupa bahwa Allah mencakup segala sesuatu dan menjaganya di bawah kendaliNya. Ia adalah Pemimpin segala sesuatu. Engkau dapat menemukan banyak ayat tentang hal ini di dalam Al Quran. Nah, feri ini mendekati daratan sekarang, dan aku akan terbang kembali untuk bergabung dengan teman-temanku. Sampai berjumpa lagi ...” Jalal menyaksikan teman barunya terbang menjauh, kian mengecil di kejauhan.
Setibanya di rumah, Jalal mencari sebuah ayat dalam Al Quran tentang segala sesuatu yang berada di bawah kendali Allah. Ia menemukannya dalam Surat Hud, dan segera mempelajari ayat tersebut dengan sungguh-sungguh:
[Hud menyebutkan,] “Aku telah meletakkan kepercayaanku kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada makhluk yang muncul tanpa perencanaan. Tuhanku berada pada Jalan Yang Lurus.” (Surat Hud: 56).
Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas? Tidak ada yang menahannya selain Allah. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (Surat An-Nahl: 79).
Anak-anakku, pernahkah kalian mendengar sejenis burung yang dikenal dengan nama MEGAPODE? Ketika burung-burung ini mempunyai anak yang harus dibesarkan, selalu burung jantan yang merawat anak-anak burung itu. Pertama, Ibu burung menggali lubang besar untuk meletakkan telur-telur di dalamnya. Setelah telur-telur diletakkan, burung jantan harus menjaga agar suhu sarang tetap 92 derajat Fahrenheit (atau 3 derajat Celsius).
Untuk mengukur suhu sarang, burung jantan mengubur paruhnya dalam pasir yang menutupinya, menggunakan sarangnya seperti termometer. Burung mengulang-ulang terus hal ini. Jika suhu sarang meningkat, dengan segera burung membuka lubang udara untuk menurunkan suhu. Paruh burung juga merupakan termometer yang luarbiasa peka. Jika seseorang melemparkan segenggam tanah di atas sarang dan suhunya meningkat sedikit sekali, burung dapat mendeteksinya. Pengukuran semacam itu hanya mungkin kita lakukan dengan menggunakan sebuah termometer. Namun, MEGAPODE melakukan hal ini sejak berabad-abad lamanya, dan tak pernah membuat kesalahan sekecil apapun.
Ini karena Allah mengajari mereka segala sesuatu. Adalah Allah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan paruh dengan kepekaan seperti termometer. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar