“…Senja pun telah bergerak ke arah malam, ketika 5 ekor kuda besi
team redaksi NRM (Nasionalis Rakyat Merdeka) bergerak perlahan melintasi
areal perkebunan karet Miramareu guna memasuki Kampung Cigandawesi
sebagai kampung terakhir menuju kawasan cagar alam LEUWEUNG
SANCANG.Tepatnya di Desa Sancang Kecamatan
Cibalong Pesisir Selatan Garut – Jawa Barat. Nampak kelelahan terbias
dari raut wajah para penunggangnya, setelah menempuh perjalanan cukup
jauh melalui jalur Bogor – Cianjur – Sindang Barang – Garut –
Pameungpeuk. Suasana sepi terasa menyertai deru suara kuda-kuda besi
kami, begitu memasuki gerbang masuk kampung Cigandawesi yang merupakan
satu-satunya jalur jalan menuju kawasan Cagar Alam Hutan SANCANG yang
berareal seluas 2.175 hektar di Pesisir Selatan Garut itu. Dan setelah
melapor kepada para penjaga pos pintu masuk setempat, maka kami pun
beristirahat barang sejenak di sebuah rumah warga setempat, yang
kebetulan persis berada di muka jalur masuk ke hutan cagar alam
tersebut.
Dan tampaklah juga oleh kami adanya sekelompok rombongan mahasiswa
dari salah satu perguruan tinggi kota Bandung, yang juga hendak
melakukan perjalanan menembus lebatnya hutan SANCANG guna melakukan
observasi pengamatan berbagai jenis satwa dan burung-burung yang
berhabitat di kawasan hutan cagar alam tersebut. Sambil menyantap mie
instan hangat pembangkit semangat, kami pun berbincang hangat dengan
warga sekitar perihal keberadaan kawasan hutan LEUWEUNG SANCANG
tersebut. Dan menurut keterangan yang kami peroleh dari warga sekitar,
bahwa jarak antara tempat kami beristirahat itu dengan tepi pantai
LEUWEUNG SANCANG yang kami tuju itu, masihlah sekitar 5 Km lagi. Dengan
mengambil rute jalur setapak selebar 1 m yang sudah ada dari sejak
dahulu kala. Sejenak kami tertegun untuk memutuskan apakah malam ini
juga kami memasuki lebatnya hutan tersebut menuju garis pantai, atau
kami terpaksa harus sabar menanti datangnya esok pagi…?
Seperti yang di lakukan oleh sekelompok mahasiswa Bandung itu, yang
mana mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju garis
pantai di ke esokan harinya, mengingat gelap dan lebatnya kawasan hutan
yang juga masih di anggap keramat oleh sebagian masyarakat Jawa – Barat
itu.Waktu pun merambat pelan bersama hembusan asap tebal sebatang rokok
yang sejak tadi akrab bagaikan kawan, di saat hening sunyi mencekam. Dan
seakan tak sabar menanti datangnya sebuah keputusan, kami pun spontan
memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan malam itu juga ke bibir
pantai, dengan berbagai resiko yang siap menghadang di depan, tanpa jasa
penunjuk jalan. Entah apa yang membuat kami senekad itu di tengah medan
hutan yang tak pernah kami kenal, namun terasa akrab dalam keyakinan.
Ringkik suara kuda-kuda besi kami pun kembali terdengar dan mereka pun
seolah tak sabar untuk secepatnya menjelajah gelapnya hutan LEUWEUNG
SANCANG yang terkenal lebat sekaligus menyeramkan.
Dan perlahan namun pasti kami pun sudah berada di punggung kuda besi
kami masing-masing serta siap membelah malam dengan mata lampu-lampu
kuda besi kami menyala terang lurus kedepan. Satu -persatu kami pun
mulai memasuki gelapnya kawasan hutan, sementara tepat di atas kami
nampak berterbangan ribuan Kalelawar / Kalong berukuran besar membentuk
formasi terbang menuju tempat di mana mereka biasa mencari makan di kala
malam. Memang ada sedikit kekhawatiran di antara kami, kalau saja kami
berpapasan dengan seekor Macan atau para binatang buas yang siap
menerkam. Dan juga menurut informasi dari petugas Jagawana kawasan cagar
alam setempat, bahwa di hutan lindung ini hidup berbagai jenis satwa
langka yang sangat di lindungi seperti : Banteng Jawa, Macan Tutul, Kera
Owa Jawa, Rusa, Babi Hutan, Harimau Kumbang serta berbagai Jenis
Burung. Yang sudah barang tentu bisa saja kita jumpai secara tidak
sengaja di tengah-tengah perjalanan kita menuju bibir pantai.
Terutama di tengah aktifitas mereka mencari makan di waktu malam.
Namun sekali lagi semua itu seolah tak terfikirkan, bahkan semua itu
seakan terkalahkan oleh rasa penasaran akan keindahan tepi pantai
LEUWEUNG SANCANG.Turunan, tanjakan serta kelokan demi kelokan telah kami
lewati. Sementara pohon-pohon besar jenis kayu Meranti bak raksasa
hutan dan juga berbagai jenis tanaman Bakau yang di sebut kayu Kaboa pun
seolah tak sabar menunggu untuk kami telusuri. Semakin kedalam maka
semakin rapat dan rimbunlah deretan pepohonan, dan sampai detik itu pula
kami pun belumlah mendengar suara debur ombak, sebagai penanda bahwa
bibir pantai sudahlah dekat dan perjalanan kami pun tidaklah sesat. Di
tengah keraguan dan bayang kekhawatiran kami pun coba bertahan untuk
terus bergerak susuri jalan dengan penuh kehati-hatian. Puluhan ranting
pohon tumbang yang terkadang menghalangi jalan, dengan sabar pun telah
kami singkirkan sambil terus berharap agar secepatnya kami dapat segera
keluar dari cengkraman kegelapan kawasan hutan LEUWEUNG SANCANG. Tak ada
seorang manusia pun kami temui di tengah perjalanan, yang ada hanyalah
kegelapan malam dan lebatnya pepohonan.Dan sampai pada suatu ketika
terlihatlah oleh kami team redaksi NRM ( Nasionalis Rakyat Merdeka ),
secercah bias cahaya terang angkasa di antara rimbunnya pepohonan. Dan
berangsur-angsur samar terdengar suara deburan ombak Laut Selatan, yang
seakan ramah berucap Salam : ”… SELAMAT DATANG KAWAN….di Tepian Pantai
Selatan Leuweung Sancang Nan Indah lagi Menawan…”
http://sakawanabaktijogja.tk/
BalasHapus